Laporan Keuangan Garuda Janggal, Kemenkeu Panggil Auditornya!
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan ternyata telah memanggil auditor yang bertanggung jawab terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia yang 'janggal'.
Pelaksana Harian Kepala PPPK Kementerian Keuangan Adi Budiarso mengungkapkan pemanggilan dilakukan untuk melihat fakta yang sebenarnya terjadi.
"Kita sudah panggil juga akuntannya. Kita sedang pelajari kontrak dan fakta di lapangan," kata Adi seperti dilansir CNBC Indonesia, Jumat (26/4/2019).
Dijelaskan Adi, pemanggilan auditor yang mengesahkan laporan keuangan emiten berkode GIAA ini semata-mata untuk melihat secara jernih kasus yang menimbulkan banyak tanda tanya oleh publik.
Bahkan, kontrak antara Garuda dan Mahata akan diperdalam oleh PPPK lebih jauh apakah sesuai kode etik dan akuntansi yang berlaku,
"Kita meramu semua fakta dahulu. Berikutnya adalah analisis kontrak Garuda dan Mahata dan bagaimana akuntan melaksanakan tugas sesuai standard kode etik dan akuntansi/auditing yang berlaku," papar Adi lebih jauh.
Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai kejanggalan dalam laporan keuangan 2018 milik PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) yang paling penting untuk ditelaah adalah melihat karakteristik (nature) transaksi yang dilakukan.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI IGD N Yetna Setia mengatakan pihak bursa telah melayangkan surat untuk memanggil manajemen GIAA dan akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan perusahaan.
"Kita sudah pelajari laporan keuangan, PSAK juga sudah dipelajari. Nanti selasa (30/4) kita panggil direksi dan akuntan publiknya karena direksi kan yang punya hak untuk menjelaskan ... Yang penting nature (karakteristik) transaksinya seperti apa," kata Yetna di Dyandra Convention Hall, Surabaya, Jumat (26/4).
Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia 2018, perseroan tercatat membukukan laba bersih senilai US$ 809.846 pada 2018, setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$). Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi yang sama di tahun sebelumnya yang rugi sebesar US$ 216.582.416.
Laba bersih ini dibukukan ketika perusahaan justru mencatatkan perlambatan pendapatan. Total pendapatan tahun lalu hanya naik 4,69% year-on-year (YoY) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar.
Padahal, pada 2017 pendapatan Garuda tumbuh 8,11% dibandingkan pendapatan 2016.
Melambatnya pendapatan perseroan secara keluruhan disebabkan penerimaan dari penerbangan tidak berjadwal (haji dan charter) anjlok 11,5%. Sebelumnya pos pendapatan ini tumbuh 56,2%.
Di sisi lain, pendapatan dari penerbangan berjadwal hanya naik 4,01% ke US$3,54 miliar.
Sehingga secara operasional perusahaan penerbangan pelat merah ini mestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar, alias US$ 206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada tahun 2018.
Namun dalam laporan keuangannya, kinerja tahun lalu diselamatkan oleh 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten' pada 2018 senilai US$ 239,94 juta (sekitar Rp2,9 triliun), yang tidak ada pada laporan keuangan 2017.
//CNBC/01